Hari buruh atau yang
lebih dikenal sebagai Mayday selalu diwarnai dengan tindakan unjuk rasa
diberbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. May Day sendiri lahir sebagai
bentuk perjuangan kelas pekerja untuk mendapatkan hak-hak mereka. Tuntutan
mereka berkisar pada jam kerja, upah, dan kondisi kerja yang buruk di pabrik.
Penyebutan 1 Mei
sebagai Hari Buruh Internasional tidak terlepaskan dari adanya peristiwa Haymarket. Peristiwa Haymarket diawali oleh demonstrasi
besar-besaran buruh di Amerika Serikat menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8
jam sehari. Aksi tersebut berlangsung sselama empat hari, yaitu sejak 1 mei
hingga 4 mei. Pada hari keempat aksi demonstrasi, polisi amerika melakukan
tindakan represif dengan menembaki para buruh. Ratusan buruh tewas dan
pemimpinnya dijatuhi hukuman mati.
Berangkat dari tragedi
tersebut, Kongres Sosialis Dunia pada tahun 1889 menetapkan 1 mei sebagai Hari
Buruh Internasional. Penyebutan 1 mei sebagai May Day baru dilakukan sejak
tahun 1890.
Di
Indonesia sendiri, May Day mulai diperingati sejak tahun 1920. Namun sejak era
Orde Baru, tanggal 1 Mei bukan lagi hari libur dan May Day tidak lagi
diperingati. Kala itu, aksi peringatan May Day masuk dalam kategori aktivitas
subversif yang ditengarai terkait dengan komunis. Kini, meski May Day tidak
menjadi hari libur nasional namun setidaknya May Day kembali diperingati.
Dilema
Kesejahteraan Buruh

Bagi
perusahaan, tentu sistem tersebut menguntungkan namun bagi pekerja, sistem
tersebut dirasa tidak manusiawi. Selain tidak ada jenjang karir, terkadang gaji
mereka dipotong oleh perusahaan induk. Lebih miris lagi, tidak banyak pekerja
yang tidak tahu berapa besar potongan yang dilakukan oleh perusahaan.
Disebabkan
berbagai alasan di atas, maka banyak terjadi demo buruh yang menuntut
penghapusan sistem outsourcing. Ditengarai,
sistem yang berlaku di Indonesia selama bertahun-tahun inilah yang membuat
hidup para pekerja tidak kunjung
sejahtera. Sistem outsourcing telah
menurunkan kualitas hidup para pekerja di Indonesia.
Seperti
halnya sistem outsourcing, upah
minimum juga menjadi persoalan tersendiri bagi pekerja. Prinsipnya, adanya upah
minimum ini dimaksudkan untuk mengurangi eksploitasi terhadap pekerja.
Pemerintah sendiri berperan untuk mengintervensi posisi tawar buruh ketika
berhadapan dengan pengusaha.
Dikarenakan
adanya perbedaan kepentingan, seringkali terjadi tarik ulur upah minimum antara
pekerja dengan pengusaha selaku pemilik modal. Pengusaha berusaha
mempertahankan kelayakan upah yang didasarkan pada keuntungan produksi,
sedangkan pekerja mencoba mendapatkan kelayakan hidup. Meskipun terjadi
kenaikan upah, hal tersebut tidak sebanding dengan biaya hidup yang juga
menjadi lebih mahal. Akibatnya, secara nominal memang benar gaji pekerja
membaik, namun secara real kehidupan
mereka masih saja jalan ditempat bahkan cenderung menurun.
May
Day sebagai Momentum Memperbaiki Kesejahteraan Buruh
Diberbagai aksi
yang dilakukan buruh, kita sering mendengar seruan “Buruh Berkuasa Rakyat
Sejahtera”. Tidak dapat dipungkiri, dalam masyarakat kapitalis seperti saat
ini, kelas yang paling dominan adalah kelas pengusaha dan kelas pekerja.
Mungkin slogan tersebut benar adanya karena kebanyakan masyarakat kita adalah
masyarakat pekerja.
Dalam
hal ini diperlukan peran besar pemerintah dalam menangani sengkarut masalah
yang tak kunjung selesai, yaitu kesejahteraan buruh. Selama ini pemerintah
memang terlihat lebih mementingkan si pemilik modal. Entah karena takut mereka
lari atau apa, tapi yang jelas pemerintah menjadi terkesan berat sebelah.
Diawali
dari pencabutan outsourcing, diharapkan kesejahteraan akan segera menghampiri kaum
buruh. Jadikan May Day sebagai momentum untuk memperbaiki kesejahteraan buruh.
Buruh jangan melulu semata-mata melakukan mogok kerja atau meminta kenaikan
upah. Jika mau, buruh dapat menjadi agen aktif untuk mewujudkan tataran
masyarakat sosialis dengan mencerabut masyarakat kapitalis yang sudah mulai
mengakar.