Senin, 25 Juni 2012

SINOPSIS JALAN TAK ADA UJUNG



TEKANAN PSIKOLOGIS DI AWAL KEMERDEKAAN


Pagi hari, di Jakarta, September 1946, sebuah patroli serdadu di Gang Jaksa meneror kedamaian warga. Beberapa tembakan yang dilancarkan membuat dua opas tergeletak di jalan, seorang anak kecil tewas, dan seorang tukang becak luka di kakinya. Di saat yang sama, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang.
            Keributan di Gang Jaksa sampai juga di tempat Guru Isa berjalan. Mendengar adanya tank serdadau yang lewat, Guru Isa turut bersembunyi di salah seorang rumah penduduk. Serangan serdadu itu akhirnya sampai juga di tempat Guru Isa bersembunyi. Serdadu yang menggeledah rumah menemukan Guru Isa. Setelah diperiksa dan tidak ditemukan senjata pada diri Guru Isa, akhirnya serdadu itu pergi. Baru setelah itu diketahui seorang Tionghoa tertembak. Bayangan kondisi orang Tionghoa yang tertembak itu masuk juga dalam ketakutan-ketakutan Guru Isa dan acap kali menyusup menjadi mimpi buruk.
            Guru Isa yang hidupnya selalu dipenuhi ketakutan-ketakutan dalam hatinya sesungguhnya adalah manusia yang baik hati. Ia adalah manusia yang membenci cara-cara kekerasan. Ketakutan-ketakutannya itu pula yang disebut dokter membuat kelaki-lakiannya tidak timbul sehingga membuat Fatimah kecewa.
            Sementara Hazil adalah pemuda yang pemberani dan ambisius. Seringkali Hazil datang ke rumah Guru Isa untuk bermain biola. Pertemanan mereka bemula dari perjumpaan keduanya di suatu perkumpulan yang ketika itu membicarakan gerakan perlawanan terhadap serdadu. Dari pertemuan yang sekali itu disambung pertemuan-pertemuan lainnyanyang cukup intens karena Guru Isa dipercaya untuk menjadi kurir pengantar senjata.
            Pengalaman mengantar senjata Guru Isa yang pertama adalah ketika mengantar senjata ke Karawang. Bersama dengan Hazil, dengan meminjam truk pada tuan Hamidy, berdua mereka mengantra senjata. Perjalanan mengantar senjata itu terasa tidak menyenangkan bagi Guru Isa karena ia melihat mayat perempuan yang digorok lehernya dan telah membusuk di dalam sumur. Peristiwa itu masuk pula ke dalam mimpi burknya sebagai salah satu bentuk ketakutan yang tidak dapat dikuasainya.
            Masa awal kemerdekaan merupakan masa yang sulit. Teror-teror terus menghantui tiap hari. Semakin hari terasa semakin mencekam saja seiring pergantian prajurit Inggris dengan prajurit Belanda setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati. Pendudukan Belanda yang kedua menjadi lebih kejam dibanding yang pertama. Teror dan hidup yang semakin sulit membuat banyak orang mengungsi, pindah dari Jakarta yang mencekam ke pedalaman. Hidup yang semakin sulit juga menjadi ujian tersendiri bagi kejujuran serta ketetapan hati bagi tiap orang. Itu pula yang menimpa Guru Isa. Dikarenakan kesulitan ekonomi yang makin parah serta tekana-tekanan lainnya membuatnya mencuri buku di sekolah tempatnya mengajar, lalu menjualnnya demi mendapatkan uang untuk membeli beras.
            Tekanan-tekanan semakin kuat menghimpit Guru Isa. Semakin hari ketakutan Guru Isa makin bertambah dan menjelma ke dalam mimpi buruknya. Macam-macam saja mimpi buruknya dan kesemuanya menambah beban ketakutan bagi Guru Isa. Semua itu menunmpuk dan membuat penyakit malarianya kambuh.
            Tanpa diketahui Guru Isa, Fatimah berselingkuh dengan Hazil. Fatimah yang selama ini selalu menahan hasratnya karena mengerti tentang kelaki-lakian Guru Isa yang tidak timbul, nyatanya tak mampu menahan hasratnya ketika melihat Hazil. Ditambah dengan sakitnya Guru Iza, semakin terlihat kelemahan Guru Isa. Hubungan setubuh mereka selalu dilakukan ketika Guru Isa berangkat ke sekolah. Sementara Guru Isa yang suatu hari menemukan pipa Hazil di bawah bantalnya tidak berani mengkonfirmasi kebenaran kepada istrinya. Ketakutan mengenai kebenrana yang menyakitkan membuatnya menyimpan pipa itu di laci mejanya.
            Ketika terjadi peledakkan di sebuah gedung bioskop, Guru Isa ada di tempat kejadian menyaksikan Hazil dan Rahmat meledakkan granat tangan. Sebuah berita beberapa minggu kemudian yang mengatakan bahwa seorang pelaku peledakkan telah tertangkap, menambah ketakutan Guru Isa. Jika berita itu benar, maka Hazil atau Rahmat yang tertangkap. Guru Isa menduga dirinya juga pasti akan tertangkap.
            Menanti penangkapan serta bayangan siksaan yang akan diterimanya menjadi puncak ketakutannya. Hingga pada akhirnya ketika Guru Isa benar-benar ditangkap, ketakutannya tidak mengganggunya lagi. Guru Isa telah dapat mengendalikan ketakutannya. Di tahanan, ketika ia mendapat siksaan, ia tak merasa takut sama sekali. Ketakutannya telah lenyap dan kelaki-lakiannya timbul kembali.

0 komentar:

Posting Komentar